Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 04 April 2017

PENDIDIKAN TERLAMBAT MERESPON DINAMIKA SOSIAL



PENDIDIKAN TERLAMBAT MERESPON DINAMIKA SOSIAL

Pendidikan menurut Poerbakawatja dan Harahap adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya. Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau oarng tua yang atasa dasar guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asama dan sebagainya.[1] Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek koginitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keterhubungan sosial dan alamnya dan dengan Tuhannya.
Selain itu, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna kekuasaan dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi tidak dalam pola kuasa-menguasai sehingga dinamika antara individu dan kelompok secra bersama-sama melepasakan diri dari kehidupan yang mempunyai akar sejarah yang sarat dengan dominasi mebatasi ruang gerak individu dan kelompok secara struktural.[2]
Gagasan tentang pendidikan afektif tersebut secara akademik dapat dibenarkan, karena koheren dengan arah pendidikan Islam yang mendukung terhadap aspek spiritual dan intelektual subjek didik. Pengembangan dua aspek ini diyakini dapat menumbuhkan kesadaran jiwani dan kesempurnaan psikologis hingga tercapai kepribadian fadilah.[3]
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap pendidikan.[4]
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya. Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukkan untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian, maka kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah sehingga hal itu harus dicegah.[5]
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktiknya. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang  ditunjukkan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat bantu.
Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling bergantung.
Sesuai dengan tujuan di atas, bahwa pendidikan bertujuan untuk memuat nilai-nilai yang baik, indah, dan luhur. Akan tetapi, dalam penyelenggaran pendidikan kita di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan.
Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan itu mencakup dimensi proses dan substantif. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya. Tidak hanya itu, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara tata asas.[6]
Kedua, masalah pendanaan. Komitmen pemerintah Indonesia mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai oleh masayarakat, meski sangat mungkin baru sampai itulah kemampuan yang ada. Dana pendidikan yang bersumber dari pemerintah, terutama yang dialokasikan untuk kepentingan pembangunan fisik, invenstasi fisik, dan eksperiman pembaharuan pendidikan umumnya diperoleh dari bantuan luar negeri. [7]
Ketiga, masalah kultural. Masalah kultural yang dimaksudkan di sini bermakna reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga itu. Reformasi pendidikan akan diterima secara antusias, apatis, atau bisa jadi ditolak oleh khalayak. Kelompok antusias adalah mereka yang memandang usaha reformasi sebagai langkah awal menuju kemajuan yang bermakna. Kelompok apatis adalah orang-orang yang memandang ada atau tidak ada reformasi, dia tidak peduli atau dia akan tetap begitu. Kelompok yang menolak adalah mereka yang memandang bahwa tradisi yang ada harus dipertahankan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok status quo. Ketiga kelompok itu akan tetap ada pada reformasi mana pun meski jumlah untuk masing-masing kelompok dapat saja berubah melalui sosialisai, pelibatan tugas, pengkondisian, insentif finansial, disiplin administrasi, atau pemaksaan.[8]
Keempat, faktor geografis. Terutama bagi perguruan tinggi di luar Jawa, faktor ini menjadi kendala dilihat dari aspek mobilitas tenaga edukatif, kecenderungan memilih progran oleh mahasiswa, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, dan sebagainya. Faktor-faktor geografis ini pula yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, sebab peserta didik menyebar mulai dari kota metropolitas Jakarta hingga ke Lembah Baliem di Irian atau suku Kubu di Jambi.[9]
Melihat begitu banyaknya kelemahan pendidikan di Indonesia, seharusnya tenaga pendidikan harus mampu meningkatkan mutu pendidikan melalui metode-metode yang cemerlang. Dengan pendidikan, seharusnya tercipta akhlak-akhlak siswa yang cerdas baik secara koginitif maupun afektif. Walaupun banyak kelemahan, harus tetap berusaha meningkatkan kualitas pendidikan di tengah keterbatasan yang ada.
Guru yang seharusnya menjadi contoh bagi para siswanya, justru memperlihatkan sikap bukan sebagi guru. Berbagai unjuk rasa dilakukan oleh para guru di berbgai daerah belakangan ini. Padahal bagi sebagian masyarakat Indonesia, guru merupakan sosok yang selama ini dihargai. Mereka menajdi sosok yang dianggap patut digugu dan ditiru.[10]
Tingkat sensivitas dari pemerintah terhadap tingkat kesejahteraan guru cenderung masih rendah tersebut membuat guru kehilangan kontrol dan kepribadiannya selama ini yang terkesan sabar. Kurangnya perhatian terhadap guru yang kemudian memicu mereka untuk melakukan unjuk rasa disertasi ancaman pemogokan.
Menyimak kembali arah kebijakan pendidikan di atas, tampaknya masih diperlukan adanya kebijakan yang seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan politis belaka. Alhasil, guru menjadi barisan terdepan dalam bentuk interaksi dengan murid, cenderumg menjadi korban dan terabaikan nasibnya. Tidak mengherankan ketika dengan mudahnya guru dijadikan kambing hitam, dalamberbagai kegagalan proses pendidikan.[11]
Tampaknya perlu disegerakan penyehatan kondisi para guru kita. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempertimbangkan kembali tentang kepatutan tingkat kesejahteraan para guru tersebut baik dalam bentuk gaji maupun tunjangan fungsional/tunjangan profesi mereka. Paling tidak, kepatutan yang dimaksud akan memotivasi para guru untuk meningkatkan moral dan tidak meningglakan muridnya dalam berperan serta di berbagai proses unjuk rasa.[12]
Dulu, pemerintah telah mengupayakan peningkatan kemampuan guru-guru yang ada melalui kegiatan penataran-penataran guru. Penataran guru tersebut diadakan baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah. Penatran dimaksud dilakukan antara lain dengan mengadakan peningkatan koordinasi dan mengadakan kerjasama dengan LPTK dan lembaga pendidikan serta peltihan lain untuk merancang suatu model penatran yang lebih bermanfaat dengan jangka waktu yang lebih panjang.
Pada kenyatannya, kegiatan penataran tersebut tampaknya belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Kenyataan obejktif yang ada menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru yang mengikuti penataran tidak berbeda dari satu penataran ke penataran lainnya. Situasi seperti ini kemudian mendorong kepada terciptanya subjektivitas penunjukkan yang secara tidak langsung menimbulkan kecemburuan bagi mereka yang tidak terpilih atau tidak ditunjuk. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk berkepentingan pribadi karena calon-calon peserta penataran juga tidak keberatan untuk memenuhi syarat yang diajukan oknum agar dapat ditunjuk dan dikirim.[13]
Sudah saatnya masyarakat harus bersikap reaktif terhadap guru-guru yang tidak profesional apalagi karena pemerintah sudah berani mengambil langkah besar untuk mengalokasikan dana  bagi perbaikan mutu dan kesejahteraan guru-guru. Masyarakt juga harus lebih kritis terhadap guru-guru yang tidak mampu menunjukkan dedikasi terhadap profesinya yaitu untuk mencerdaskan siswanya dalam pengetahuan, ketrampilan, dan sikap.[14]
Berbagai keprihatinan yang dilontarkan oleh berbagai pihak terhadap rendahnya kesejahteraan guru tersebut nyatanya telah mendapat tanggapan dari pihak pemerintah. Di lain pihak profesional guru dipertanyakan oleh berbagai pihak. Profesionalitas tersebut menyangkut kemampuan guru mengajar dalam hal menerapkan program kurikulum. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa hidup tidaknya program kurikulum akan sangat tergantung kepada guru. Padahal dalam kenyataanya tugas guru cenderung telah direduksi hanya sebagai pemberi mata pelajaran. Selain itu, guru diberi tugas untuk mengintegrasikan mata pelajaran yang di dalamnya terdapat nilai-nilai afektif. Hal itu dilakukan agar peserta didik selain memiliki kecerdasan secara kognitif, juga diharapkan memiliki kecerdasan afektif yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Syukur, dkk. 2011.  Islam Agama Santun. Semarang: Rasail.
Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hendarman. 2012. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Surabaya: Jenggala Pustaka.
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, Muhibbin. 2010.  Psikologi Pendidikan dengan Pendidikan Baru. Bandung: Remaja Roskakarya.
Tirtarahadja, Umar and S. L.La Sulo. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.




[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendidikan Baru, (Bandung: Remaja Roskakarya, 2010), hal., 11.
[2] Paulo Freire, Politik Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal., 6.
[3] Amin Syukur, dkk., Islam Agama Santun, (Semarang: Rasail, 2011), hal., 89.
[4] Umar Tirtarahadja & S. L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal., 37.
[5] Umar Tirtarahadja & S. L.La Sulo, Loc. Cit.
[6] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal., 6.
[7] Ibid., hal., 7.
[8] Ibid., hal., 8.
[9] Sudarwan Danim, Loc. Cit.
[10] Hendarman, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Surabaya: Jenggala Pustaka, 2012), hal., 171.
[11] Ibid., hal., 173.
[12] Hendarman, Loc. Cit.
[13] Ibid., hal., 177.
[14] Ibid., hal., 179.

0 komentar:

Posting Komentar