PENDIDIKAN TERLAMBAT MERESPON DINAMIKA SOSIAL
Pendidikan menurut Poerbakawatja dan Harahap adalah usaha secara
sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke
kedewasan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari
segala perbuatannya. Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau oarng tua
yang atasa dasar guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asama dan sebagainya.[1] Pendidikan
memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas)
dan aspek sosial, aspek koginitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba
keterhubungan sosial dan alamnya dan dengan Tuhannya.
Selain itu, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna
kekuasaan dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi tidak
dalam pola kuasa-menguasai sehingga dinamika antara individu dan kelompok secra
bersama-sama melepasakan diri dari kehidupan yang mempunyai akar sejarah yang
sarat dengan dominasi mebatasi ruang gerak individu dan kelompok secara
struktural.[2]
Gagasan tentang pendidikan afektif tersebut secara akademik dapat
dibenarkan, karena koheren dengan arah pendidikan Islam yang mendukung terhadap
aspek spiritual dan intelektual subjek didik. Pengembangan dua aspek ini
diyakini dapat menumbuhkan kesadaran jiwani dan kesempurnaan psikologis hingga
tercapai kepribadian fadilah.[3]
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap pendidikan.[4]
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki
posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya. Dapat dikatakan
bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata
terarah kepada atau ditujukkan untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian,
maka kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang,
tidak fungsional, bahkan salah sehingga hal itu harus dicegah.[5]
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang
sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat
luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktiknya. Sedangkan
pendidikan harus berupa tindakan yang
ditunjukkan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat
tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat bantu.
Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas
komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling
bergantung.
Sesuai dengan tujuan di atas, bahwa pendidikan bertujuan untuk memuat
nilai-nilai yang baik, indah, dan luhur. Akan tetapi, dalam penyelenggaran pendidikan
kita di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan.
Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk
perguruan tinggi. Kelemahan itu mencakup dimensi proses dan substantif. Pada
tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan
dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substantif, seperti personalia,
keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan
perpustakaan, dan sebagainya. Tidak hanya itu, melainkan kriteria keberhasilan
untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara tata asas.[6]
Kedua, masalah pendanaan. Komitmen pemerintah Indonesia
mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai oleh masayarakat, meski
sangat mungkin baru sampai itulah kemampuan yang ada. Dana pendidikan yang
bersumber dari pemerintah, terutama yang dialokasikan untuk kepentingan
pembangunan fisik, invenstasi fisik, dan eksperiman pembaharuan pendidikan
umumnya diperoleh dari bantuan luar negeri. [7]
Ketiga, masalah kultural. Masalah kultural yang dimaksudkan di sini
bermakna reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan
yang ada di lembaga itu. Reformasi pendidikan akan diterima secara antusias,
apatis, atau bisa jadi ditolak oleh khalayak. Kelompok antusias adalah mereka
yang memandang usaha reformasi sebagai langkah awal menuju kemajuan yang
bermakna. Kelompok apatis adalah orang-orang yang memandang ada atau tidak ada
reformasi, dia tidak peduli atau dia akan tetap begitu. Kelompok yang menolak
adalah mereka yang memandang bahwa tradisi yang ada harus dipertahankan
sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok status quo. Ketiga kelompok itu akan
tetap ada pada reformasi mana pun meski jumlah untuk masing-masing kelompok
dapat saja berubah melalui sosialisai, pelibatan tugas, pengkondisian, insentif
finansial, disiplin administrasi, atau pemaksaan.[8]
Keempat, faktor geografis. Terutama bagi perguruan tinggi di luar
Jawa, faktor ini menjadi kendala dilihat dari aspek mobilitas tenaga edukatif,
kecenderungan memilih progran oleh mahasiswa, kerjasama kelembagaan, kedekatan
dengan sumber informasi, dan sebagainya. Faktor-faktor geografis ini pula yang
menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, sebab peserta
didik menyebar mulai dari kota metropolitas Jakarta hingga ke Lembah Baliem di
Irian atau suku Kubu di Jambi.[9]
Melihat begitu banyaknya kelemahan pendidikan di Indonesia, seharusnya
tenaga pendidikan harus mampu meningkatkan mutu pendidikan melalui
metode-metode yang cemerlang. Dengan pendidikan, seharusnya tercipta
akhlak-akhlak siswa yang cerdas baik secara koginitif maupun afektif. Walaupun
banyak kelemahan, harus tetap berusaha meningkatkan kualitas pendidikan di
tengah keterbatasan yang ada.
Guru yang seharusnya menjadi contoh bagi para siswanya, justru memperlihatkan
sikap bukan sebagi guru. Berbagai unjuk rasa dilakukan oleh para guru di
berbgai daerah belakangan ini. Padahal bagi sebagian masyarakat Indonesia, guru
merupakan sosok yang selama ini dihargai. Mereka menajdi sosok yang dianggap
patut digugu dan ditiru.[10]
Tingkat sensivitas dari pemerintah terhadap tingkat kesejahteraan
guru cenderung masih rendah tersebut membuat guru kehilangan kontrol dan
kepribadiannya selama ini yang terkesan sabar. Kurangnya perhatian terhadap
guru yang kemudian memicu mereka untuk melakukan unjuk rasa disertasi ancaman
pemogokan.
Menyimak kembali arah kebijakan pendidikan di atas, tampaknya masih
diperlukan adanya kebijakan yang seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan
politis belaka. Alhasil, guru menjadi barisan terdepan dalam bentuk interaksi
dengan murid, cenderumg menjadi korban dan terabaikan nasibnya. Tidak
mengherankan ketika dengan mudahnya guru dijadikan kambing hitam, dalamberbagai
kegagalan proses pendidikan.[11]
Tampaknya perlu disegerakan penyehatan kondisi para guru kita.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempertimbangkan kembali tentang kepatutan
tingkat kesejahteraan para guru tersebut baik dalam bentuk gaji maupun
tunjangan fungsional/tunjangan profesi mereka. Paling tidak, kepatutan yang
dimaksud akan memotivasi para guru untuk meningkatkan moral dan tidak
meningglakan muridnya dalam berperan serta di berbagai proses unjuk rasa.[12]
Dulu, pemerintah telah mengupayakan peningkatan kemampuan guru-guru
yang ada melalui kegiatan penataran-penataran guru. Penataran guru tersebut
diadakan baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah. Penatran dimaksud
dilakukan antara lain dengan mengadakan peningkatan koordinasi dan mengadakan
kerjasama dengan LPTK dan lembaga pendidikan serta peltihan lain untuk
merancang suatu model penatran yang lebih bermanfaat dengan jangka waktu yang
lebih panjang.
Pada kenyatannya, kegiatan penataran tersebut tampaknya belum
mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Kenyataan obejktif yang ada
menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru yang mengikuti penataran tidak berbeda
dari satu penataran ke penataran lainnya. Situasi seperti ini kemudian
mendorong kepada terciptanya subjektivitas penunjukkan yang secara tidak langsung
menimbulkan kecemburuan bagi mereka yang tidak terpilih atau tidak ditunjuk. Kondisi
ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk berkepentingan
pribadi karena calon-calon peserta penataran juga tidak keberatan untuk
memenuhi syarat yang diajukan oknum agar dapat ditunjuk dan dikirim.[13]
Sudah saatnya masyarakat harus bersikap reaktif terhadap guru-guru
yang tidak profesional apalagi karena pemerintah sudah berani mengambil langkah
besar untuk mengalokasikan dana bagi
perbaikan mutu dan kesejahteraan guru-guru. Masyarakt juga harus lebih kritis
terhadap guru-guru yang tidak mampu menunjukkan dedikasi terhadap profesinya
yaitu untuk mencerdaskan siswanya dalam pengetahuan, ketrampilan, dan sikap.[14]
Berbagai keprihatinan yang dilontarkan oleh berbagai pihak terhadap
rendahnya kesejahteraan guru tersebut nyatanya telah mendapat tanggapan dari
pihak pemerintah. Di lain pihak profesional guru dipertanyakan oleh berbagai
pihak. Profesionalitas tersebut menyangkut kemampuan guru mengajar dalam hal menerapkan
program kurikulum. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa hidup tidaknya program
kurikulum akan sangat tergantung kepada guru. Padahal dalam kenyataanya tugas
guru cenderung telah direduksi hanya sebagai pemberi mata pelajaran. Selain
itu, guru diberi tugas untuk mengintegrasikan mata pelajaran yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai afektif. Hal itu dilakukan agar peserta didik selain
memiliki kecerdasan secara kognitif, juga diharapkan memiliki kecerdasan
afektif yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, dkk. 2011. Islam
Agama Santun. Semarang: Rasail.
Danim, Sudarwan.
2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hendarman.
2012. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Surabaya: Jenggala Pustaka.
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Syah, Muhibbin.
2010. Psikologi Pendidikan dengan
Pendidikan Baru. Bandung: Remaja Roskakarya.
Tirtarahadja, Umar
and S. L.La Sulo. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[1]
Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendidikan Baru, (Bandung: Remaja Roskakarya, 2010),
hal., 11.
[2]
Paulo Freire, Politik
Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal., 6.
[3]
Amin Syukur,
dkk., Islam Agama Santun, (Semarang: Rasail, 2011), hal., 89.
[4]
Umar
Tirtarahadja & S. L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hal., 37.
[5]
Umar
Tirtarahadja & S. L.La Sulo, Loc. Cit.
[6]
Sudarwan Danim,
Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), hal., 6.
[7]
Ibid., hal., 7.
[8] Ibid., hal., 8.
[9] Sudarwan Danim,
Loc. Cit.
[10]
Hendarman, Kebijakan
Pendidikan di Indonesia, (Surabaya: Jenggala Pustaka, 2012), hal., 171.
[11] Ibid., hal.,
173.
[12] Hendarman, Loc.
Cit.
[13] Ibid., hal.,
177.
[14] Ibid., hal.,
179.
0 komentar:
Posting Komentar