Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 04 April 2017

IJTIHAD


 
IJTIHAD

A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang mujtahid dalam kepastian hukum bagi suatu masalah yang dimaksud.[1]
Ijtihad terbagi menjadi 2, yaitu:
1.      Ijtihad yang menghasilkan kebenaran
2.      Ijtihad yang tidak menghasilkan kebenaran/salah
Ijtihad dalam masalah akidah tidak dapat dikatakan semua benar, sebab jika semua ijtihad dalam masalah akidah benar, berarti membenarkan ijtihad orang-orang ahli bd’ah, seperti:[2]
1.      Orang Nasrani yang beranggapan bahwa tuhan ada tiga.
2.      Orang Kafir yang beranggapan bahwa hari kebangkitan kubur tidak ada.
3.      Golongan Mu’tazilah yang beri’tikad bahwa orang mukmin di surga tidak bisa melihat Allah.
4.      Orang Majuzi yang beranggapan  bahwa alam semesta terdri dari dua unsur yaitu terang dan gelap.

B.     Syarat-Syarat Mujtahid
1.      Mengerti ayat-ayat yang menjadi sumber hukum
2.      Mengerti hadist-hadist yang menjadi sumber hukum
3.      Mengerti kaidah-kaidah fiqih
4.      Mengerti cabang-cabang fiqh
5.      Mengerti ikhtikaf/perbedaan para imam
6.      Mengerti madzab yang tetap
7.      Mengerti ilmu nahwu
8.      Mengerti bahasa arab
9.      Mengerti ilmu usul
10.  Mengerti ilmu ma’ani/ilmu untuk menjaga dari kesalahan dalam berbicara
11.  Mengerti ilmu bayan/ilmu untuk menjaga dari pembicaraan yang tidak mengarah kepada tujuannya
12.  Mengerti tafsir Al-Quran
13.  Mengerti kepribadian para rowi hadist
14.  Mengerti hal-hal yang telah menjadi ijma’ dan yang menjadi perselisihan/khilaf
15.  Mengerti dalil naskh dan mansukh
16.  Mengerti asbabul nuzul/sebab-sebab turunnya Al-Quran[3]
Jika melihat dari Sabda Nabi SAW tentang bagaimana cara menyelesaikan perkara  yang tidak ada jawabannya di Al-Quran ataupun As-Sunnah yaitu dengan cara berijtihad. Ada banyak metode penemuan hukum dalam islam melalui jalan berijtihad, tetapi dalam hal ini penulis hanya akan membahas tentang metode qiyas.
1.      Qiyas
Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kapada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
2.      Adapun syarat-syarat qiyas adalah sebagai berikut.
a.       Al-Ashlu (suatu perkara yang ada hukumnya dalam nash)
b.      Al-Far’u (suatu perkaar yang belum ada hukumnya di dalam nash)
c.       Hukum Ashal (hukum dari perkara al-Ashlu)
d.      Illat

C.    Contoh Qiyas
Hukum kloning dalam pandangan Islam sangat jelas, yang diambil dari dalil-dalil qiyas dan itjihad. Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia. Tujuan kloning pada tanaman dan hewan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitasnya, dan mencari obat alami bagi banyak penyakit manusia–terutama penyakit-penyakit kronis guna menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan manusia.[4]
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan dan meningkatkan produktivitasnya tersebut menurut syara’ tidak apa-apa untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia–terutama yang kronis adalah kegiatan yang dibolehkan Islam.
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan.
Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
Dalam fatwanya Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah menjelaskan bahwa hukum mengkloning manusia tergantung pada cara kloning yang dilakukan. Paling tidak ada empat cara yang bisa dilakukan dalam kloning manusia:
1.      Kloning dilakukan dengan mengambil inti sel (nucleus of cells) "wanita lain (pendonor sel telur)" yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita kandidat yang nukleusnya telah dikosongkan.
2.      Kloning dilakukan dengan menggunakan inti sel (nucleus) "wanita kandidat" itu sendiri, dari sel telur milik sendiri bukan dari pendonor.
3.      Kloning dilakukan dengan menanamkan inti sel (nucleus) jantan ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel jantan ini bisa berasal dari hewan, bisa dari manusia. Terus manusia ini bisa pria lain, bisa juga suami si wanita.
4.      Kloning dilakukan dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma (dengan tanpa hubungan seks) yang dengan proses tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio kembar yang banyak.
Pada kasus dua cara pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram, dilarang melakukan kloning yang semacam itu dengan dasar analogi (qiyas) kepada haramnya lesbian dan saadduzarai' (tindakan pencegahan, precaution) atas timbulnya kerancuan pada nasab atau sistem keturunan, padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu kewajiban agama. Di lain pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang merupakan salah ajaran agama Islam.
Pada cara ketiga dan keempat, kloning haram dilakukan jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik hewan. Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya belum bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahah dan bahayanya dalam kehidupan sosial. Cara mengatasinya dengan melihat maslahah dan madharatnya. Jika hukum kloning sudah menjadi keputusan haram atau halal, maka tentu bisa ditindak lanjuti melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk melarang atau menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya.
Melihat fakta kloning manusia secara menyeluruh, syari’at Islam mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut:
1.      Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنثَى (٤٥) مِن نُّطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى (٤٦(
“Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan.” (QS an-Najm, 53: 45-46).

Dalam ayat lain dinyatakan pula,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى (٣٧) ثُمَّ كَان عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى ٣٨ (
 Bukankah dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS al-Qiyâmah, 75: 37-38).
2.      Kedua, anak-anak produk kloning dari perempuan-tanpa adanya laki-laki-tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah SWT:.
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurât, 49: 13)
3.      Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah)
Kloning manusia yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan-jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.
4.      Keempat, memproduksi anak melalui proses kloning akan mengacaukan pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’ seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur kehidupan masyarakat.
Pengharaman ini hanya berlaku untuk kasus kloning pada manusia.  Kloning bagi hewan dan tumbuhan, apalagi bertujuan untuk mencari obat, justru dibolehkan bahkan disunahkan.


[1] Saiful Hadi, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hal., 127.
[2] Saiful Hadi, Loc. Cit.
[3] Ibid., hal., 125.
[4] http://www.e-jurnal.com/2013/09/hukum-kloning-dalam-pandangan-islam.html pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 21.41.

0 komentar:

Posting Komentar