IJTIHAD
A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang mujtahid
dalam kepastian hukum bagi suatu masalah yang dimaksud.[1]
Ijtihad terbagi menjadi 2, yaitu:
1.
Ijtihad
yang menghasilkan kebenaran
2.
Ijtihad
yang tidak menghasilkan kebenaran/salah
Ijtihad dalam masalah akidah tidak dapat dikatakan semua benar,
sebab jika semua ijtihad dalam masalah akidah benar, berarti membenarkan
ijtihad orang-orang ahli bd’ah, seperti:[2]
1.
Orang
Nasrani yang beranggapan bahwa tuhan ada tiga.
2.
Orang
Kafir yang beranggapan bahwa hari kebangkitan kubur tidak ada.
3.
Golongan
Mu’tazilah yang beri’tikad bahwa orang mukmin di surga tidak bisa melihat
Allah.
4.
Orang
Majuzi yang beranggapan bahwa alam
semesta terdri dari dua unsur yaitu terang dan gelap.
B.
Syarat-Syarat Mujtahid
1.
Mengerti
ayat-ayat yang menjadi sumber hukum
2.
Mengerti
hadist-hadist yang menjadi sumber hukum
3.
Mengerti
kaidah-kaidah fiqih
4.
Mengerti
cabang-cabang fiqh
5.
Mengerti
ikhtikaf/perbedaan para imam
6.
Mengerti
madzab yang tetap
7.
Mengerti
ilmu nahwu
8.
Mengerti
bahasa arab
9.
Mengerti
ilmu usul
10.
Mengerti
ilmu ma’ani/ilmu untuk menjaga dari kesalahan dalam berbicara
11.
Mengerti
ilmu bayan/ilmu untuk menjaga dari pembicaraan yang tidak mengarah kepada
tujuannya
12.
Mengerti
tafsir Al-Quran
13.
Mengerti
kepribadian para rowi hadist
14.
Mengerti
hal-hal yang telah menjadi ijma’ dan yang menjadi perselisihan/khilaf
15.
Mengerti
dalil naskh dan mansukh
16.
Mengerti
asbabul nuzul/sebab-sebab turunnya Al-Quran[3]
Jika melihat dari Sabda Nabi SAW tentang bagaimana cara menyelesaikan
perkara yang tidak ada jawabannya di Al-Quran ataupun As-Sunnah yaitu
dengan cara berijtihad. Ada banyak metode penemuan hukum dalam islam melalui
jalan berijtihad, tetapi dalam hal ini penulis hanya akan membahas tentang
metode qiyas.
1. Qiyas
Qiyas menurut Ulama Ushul ialah
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kapada kejadian lain yang
ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh karena adanya kesamaan dua
kejadian itu dalam illat hukumnya.
2. Adapun
syarat-syarat qiyas adalah sebagai berikut.
a.
Al-Ashlu (suatu perkara yang ada
hukumnya dalam nash)
b.
Al-Far’u (suatu perkaar yang belum
ada hukumnya di dalam nash)
c.
Hukum Ashal (hukum dari perkara
al-Ashlu)
d.
Illat
C.
Contoh Qiyas
Hukum kloning dalam pandangan Islam sangat jelas, yang diambil dari
dalil-dalil qiyas dan itjihad. Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan
kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa
tumbuhan, hewan, maupun manusia. Tujuan kloning pada tanaman dan hewan pada
dasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan
produktivitasnya, dan mencari obat alami bagi banyak penyakit manusia–terutama penyakit-penyakit
kronis guna menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek
samping terhadap kesehatan manusia.[4]
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan dan meningkatkan
produktivitasnya tersebut menurut syara’ tidak apa-apa untuk dilakukan dan
termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula memanfaatkan tanaman dan
hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai
penyakit manusia–terutama yang kronis adalah kegiatan yang dibolehkan Islam.
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik
yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil
inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum)
wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan
proses pembuahan atau inseminasi buatan.
Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara
mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur
yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus
dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses
penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel
tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak
diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah
itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan
berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel
tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
Dalam fatwanya Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah menjelaskan bahwa hukum mengkloning
manusia tergantung pada cara kloning yang dilakukan. Paling tidak ada empat
cara yang bisa dilakukan dalam kloning manusia:
1. Kloning dilakukan dengan mengambil inti sel (nucleus of cells) "wanita
lain (pendonor sel telur)" yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita
kandidat yang nukleusnya telah dikosongkan.
2. Kloning dilakukan dengan menggunakan inti sel (nucleus) "wanita
kandidat" itu sendiri, dari sel telur milik sendiri bukan dari pendonor.
3. Kloning dilakukan dengan menanamkan inti sel (nucleus) jantan ke dalam ovum
wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel jantan ini bisa berasal dari
hewan, bisa dari manusia. Terus manusia ini bisa pria lain, bisa juga suami si
wanita.
4. Kloning dilakukan dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma
(dengan tanpa hubungan seks) yang dengan proses tertentu bisa menghasilkan
embrio-embrio kembar yang banyak.
Pada kasus dua cara pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram,
dilarang melakukan kloning yang semacam itu dengan dasar analogi (qiyas) kepada
haramnya lesbian dan saadduzarai' (tindakan pencegahan, precaution) atas
timbulnya kerancuan pada nasab atau sistem keturunan, padahal melindungi
keturunan ini termasuk salah satu kewajiban agama. Di lain pihak juga akan
menghancurkan sistem keluarga yang merupakan salah ajaran agama Islam.
Pada cara ketiga dan keempat, kloning haram dilakukan jika sel atau sperma
yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik hewan. Jika sel atau
sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya belum bisa ditentukan
(tawaquf), melihat dulu maslahah dan bahayanya dalam kehidupan sosial. Cara
mengatasinya dengan melihat maslahah dan madharatnya. Jika hukum kloning sudah
menjadi keputusan haram atau halal, maka tentu bisa ditindak lanjuti melalui
lembaga-lembaga yang berwenang untuk melarang atau menjatuhkan sanksi bagi para
pelanggarnya.
Melihat fakta kloning manusia secara menyeluruh, syari’at Islam
mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Pertama, anak-anak produk proses
kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma
dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat
sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT
berfirman:
وَأَنَّهُ
خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنثَى (٤٥) مِن نُّطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى (٤٦(
“Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan.” (QS an-Najm, 53: 45-46).
Dalam ayat lain
dinyatakan pula,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى (٣٧) ثُمَّ كَان عَلَقَةً
فَخَلَقَ فَسَوَّى ٣٨ (
“Bukankah
dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu
menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu
Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS
al-Qiyâmah, 75: 37-38).
2. Kedua, anak-anak produk
kloning dari perempuan-tanpa adanya laki-laki-tidak akan memunyai ayah. Anak produk
kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah
digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik
sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi
tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh
karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah
SWT:.
يا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ
لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS
al-Hujurât, 49: 13)
3. Ketiga, kloning manusia akan
menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan
pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang
menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak)
bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari
Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah)
Kloning manusia yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal
kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan-jelas mengharuskan seleksi
terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka
suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil
dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan,
menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.
4. Keempat, memproduksi anak
melalui proses kloning akan mengacaukan pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’
seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak
dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan
banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan
nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam
masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan
struktur kehidupan masyarakat.
Pengharaman ini hanya berlaku untuk kasus kloning pada manusia. Kloning bagi hewan dan tumbuhan, apalagi
bertujuan untuk mencari obat, justru dibolehkan bahkan disunahkan.
0 komentar:
Posting Komentar