MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
Oleh :
Adib
Athoillah
NIM.
2124603
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) KEBUMEN
2017
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... 1
DAFTAR ISI...................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 3
A.
Latar
Belakang Masalah.................................................................... 3
B.
Rumusan
Masalah............................................................................. 4
BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................. 5
A.
Proses Pengangkatan Ali
bin Abi Thalib.......................................... 5
C.
Peristiwa penting pada
Masa Ali bin Abi Thalib............................ 10
D.
Masa Akhir Jabatan Ali
bin Abi Thalib.......................................... 17
BAB III. PENUTUP....................................................................................... 20
A.
Kesimpulan..................................................................................... 20
Daftar Pustaka .................................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pertama kali yang kami rasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami.
Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau
tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi
antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali
dan Muawiyah). Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum
muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam. dalam rangka
menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada
kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali bin Abi
Thalib. Tentunya, membahas
khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan
memuaskan.
Namun, kami berusaha untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kami akan mulai
pembahasan ini dengan proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, sedangkan
biografi dari Ali bin Abi Thalib hanya sedikit yang kami paparkan. Sengaja kami
tidak terlalu banyak membahas biografinya karena kami memfokuskan untuk
membahas pada masa kekhalifahannya saja agar tidak memperlebar pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.
1.
Bagaimana Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib Sebagai
Khalifah?
2.
Apa sajakah Kebijakan dan Politik Pada Pemerintahan Ali bin
Abi Thalib?
3.
Apa sajakah Peristiwa-Peristiwa Yang Terjadi Pada
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib?
4.
Bagaimanakah Masa Akhir
Jabatan Ali bin Abi Thalib?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib
Ali memang diakui sebagai
salah satu hasil tempaan islam yang terbaik. Keberaniannya membuatnya menyandang
julukan “Singa Tuhan”. Ali Bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun Gajah ke-13.
Ali dibesarkan dan dididik oleh Nabi sejak masa Kanak-kanaknya. Ali ini
merupakan anak-anak pertama yang memeluk agama islam. Ali salah satu putra
Islam terbesar itu meninggal pada usia 63 tahun. Pemerintahannya berlangsung
selama 4 tahun 9 bulan dan ia ditakdirkan menjalankan pemerintahan Islam
melalui masa-masa paling kritis berupa pertentangan antar kelompok. Ali
terpilih menjadi khalifah ketika islam banyak di goncang berbagai gejolak.[1]
Ali yang dibesarkan oleh Nabi
Muhammad dan berkesempatan menemani Nabi selama sekitar 30 tahun, Ali menempati
posisi yang unik sebagai intelektual terbesar diantara para sahabat Nabi. Ia
juga dikenal sebagai bapak ilmu pengetahuan Islam. Di dalam kitab Izalat
ul-Khifa, Shah Waliullah atas nama Imam Hambali memuji intelektualitas Ali yang
tinggi sebagai akibat didikan yang diberi Nabi. Kenyataan ini dikuatkan Nabi :
“Aku menjadi gudang ilmu pengetahuan,
sedangkan Ali menjadi gerbangnya”.
Pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali diba’iat
di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Usman, pertentangan dan
kekacauan, serta kebingungan Umat Islam Madinah. Setelah Usman terbunuh, kaum pemberontak mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan maksud mendukung
Ali untuk menjadi Khalifah. Karena tidak ada satu orang pun yang memang ingin mencalonkan diri untuk
menggantikan Khalifah Usman. Sosok Ali merupakan orang yang populer pada saat
itu dan dinilai paling pantas untuk menggantikan Usman. Tetapi ada juga dari
beberapa kalangan dari Bani Umayyah, dan beberapa sahabat dari kaum Muhajirin
dan Anshar yang belum bersedia untuk membaiatkannya. Mereka sepakat akan
membaiatkannya apabila muslim yang lain juga membaiat. Ali sebenarnya menolak, sebab ia tidak ingin ada
perpecahan, dan oleh karena berbagai desakan akhirnya Ali meminta agar masalah
ini dibawa ke Mesjid Nabawi. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu
segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, dan adanya desakan dari berbagai
pihak akhirnya Ali bersedia diba’iat menjadi khalifah.[2]
Ia pun pergi ke Mesjid. Pada Senin 21 Zulhijah 35/20 Juni 656
akhirnya Ali bin Abi Thalib di baiat. Ali Ia diba’iat oleh mayoritas rakyat
dari muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair,
tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin
Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at
Ali. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berba’iat secara
terpaksa. Karena mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,
kecuali memilih Ali. Mengenai hal ini sebenarnya masih banyak perbedaan
pendapat dari para ahli sejarah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang pertama
kali membaiat ali adalah Talhah bin Ubaidillah.[3]
B. Kebijakan dan Politik
Pada Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah pengangkatan Ali menjadi khalifah ke-4 menggantikan Usman bin
Affan, bukan berarti semuanya telah selesai sampai disitu. Masih banyak
permasalahan-permasalahan yang belum selesai dan harus melanjutkan tugas dari
khalifah sebelumnya. Ali tidak lagi hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan
juga harus memikirkan Islam, umat Islam dan juga masa depannya. Setelah di
baiat Ali pun menyampaikan pidato. Ali akan melanjutkan tugas Khalifah
sebelumnya, dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada,terutama mengungkap
tentang kasus pembunuhan Usman.
Sikap Ali paling ketat ialah terhadap
pejabat yang korup, yang berkhianat memakan harta umat, yang sebelumnya ini
pernah terjadi dan Ia juga pernah mengingatkan Usman akan hal itu. Selain itu
Ali juga memecat para pejabat yang diangkat pada masa ke Khalifahan Usman.
Mereka ini adalah para pejabat yang memiliki sejarah kelam. Ali memecat mereka,
kemudian mengembalikan harta kekayaan yang mereka miliki secara tidak sah ke
baitulmal, dan menata ulang pembagian kekayaan untuk kepentingan umat dengan
seadil-adilnya, masing-masing sesuai dengan amal dan perjuangannya.[4]
Mengorbankan diri demi keadilan dan
kebenaran merupakan jati diri Ali bin Abi Thalib. Ia selalu berterus terang dan
mempertahankan kejujuran meskipun dalam berpolitik akan merugikannya. Karena
Ali sendiri bukanlah orang yang mengerti tentang politik, dan pada akhirnya
nanti politik inilah yang akan membuat kekacauan dan merugikan Ali.
Setelah Ali menjadi Amirulmukminin,
Talhah dan Zubair mendatanginya dengan maksud agar mereka dapat diikut
sertakan dalam pemerintahannya. Mereka mengatakan bahwa itulah alasan mengapa
mereka membaiatkan Ali. Talhah menginginkan agar Ia diberi jabatan menjadi
kepala daerah Basrah dan Zubair menjadi kepala daerah Kuffah. Ali mengatakan
pada keduanya bahwa Ia akan memikirkannya terlebih dahulu. Abdullah bin Abbas
dan juga Mugirah bin Syu’bah merupakan orang yang memberikan saran dan nasehat
kepada Ali agar jabatan itu di berikan saja kepada keduanya. Mereka juga
menyarankan agar Ali memperkuat kedudukan Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam yang
sebelumnya sudah diangkat oleh khalifah Umar dan Usman. Tetapi semua usul dan
saran itu ditolak oleh Ali, dan kemudian
Ia menawarkan jabatan itu kepada Abdullah bin Abbas, namun Abdullah bin Abbas
menolaknya.[5]
Ali adalah orang yang istikomah,
berpegang teguh pada kebenaran, adil, jujur, terus terang dan tegas, dalam
berbicara dan bertindak, tidak suka main politik, atau mau berkompromi dalam
mempertahankan kebenaran. Disadari atau tidak, dengan demikian secara politik
akan merugikan dirinya. Tetapi baginya kebenaran dan keimanan pada ajaran
agamanya di atas politik, kendati demikian ini sering berakibat merugikan
perjuangannya.
Ketegasannya dalam menolak
nasihat-nasihat Abdullah bin Abbas dan juga Mugirah bin Syu’bah tanpa
sedikitpun mau menenggang dari segi politik mungkin tidak menguntungkan untuk
masa depannya dan masa depan umat. Ketegasan seorang pemimpin memang sangat
penting, namun Ali terkadang terlalu bertindak tergesa-gesa. Tanpa basa-basi Ia
memecat para pejabat-pejabat yang di masa Usman di nilai tidak bertanggung
jawab. Mereka tidak memberikan perhatian terhadap kegiatan para pemberontak di
daerah mereka masing-masing. Menurut keyakinannya, kebenaran dan keadilan tidak
boleh dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan politik demi kepentingan dirinya
ataupun golongan yang sifatnya duniawi. Dalam mengganti para gubernur itu
tindakan Ali yang cukup bijaksana ketika mengangkat Usman bin Hunaif Al-ansari
untuk Basrah menggantikan Abdullah bin Amir, Sahl bin Hunaif, saudaranya untuk
Syam menggantikan Muawiyah, Qais bin Sa’ad bin Ubadah untuk Mesir menggantikan
Abdullah bin Sa’d. Ketiganya adalah kalangan Ansar terkemuka.[6]
Namun ketika Sahl bin Hunaif datang
ke Syam untuk menggantikan jabatan Muawiyah, Ia dicegat oleh pasukan Muawiyah
dan disuruh untuk kembali. Muawiyah dan sebagian Bani Umayyah menolak mengakui
dan membaiatkan Ali sebelum orang yang membunuh Usman tertangkap dan di hukum.
Mengetahui hal ini Ali mengundang para pemuka di Madinah yaitu Talhah dan Zubair. Namun Ali tidak
mendapatkan respon yang baik dari keduanya, dan mereka meminta izin akan pergi
ke Mekah namun Ali tidak mengizinkannya tetapi mereka berdua tetap bersih keras
untuk pergi dan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan dikalangan pengikut Ali.[7]
Ali terus mengalami masa-masa
sulitnya, pembangkangan yang terjadi secara terus menerus dari orang-orang yang
ada disekitarnya semakin menjadi-jadi. Masa Ali tentu tidak sama dengan masa
Abu Bakar yang meninggal secara wajar, Umar yang meninggal karena dibunuh
tetapi pembunuhnya itu bukan dari kalangan orang muslim, pembunuhnya pun sudah
diketahui yaitu Abu Lu’Lu’ah Fairuz orang Majusi. Tetapi Ali menggatikan Usman
yang dibunuh oleh sesama muslim dan tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan ini
berimbas kemudian pada Ali dan anak-anaknya serta beberapa sahabat yang
mati-matian membela dan berusaha melindungi dan menyelamatkan Usman malah
kemudian di tuduh membunuhnya atau di tuntut bertanggung jawab.[8]
Ali dilanda kerisauan yang amat
besar, tidak hanya masalah kaum pemberontak dan penangkapan para pembunuh
khalifah Usman tetapi juga masalah kesatuan kedaulatan Islam dan persatuan
umat. Sebagian dari orang-orang disana tidak begitu senang dengan kekhalifahan
Ali. Mereka khawatir jika Ali menjadi khalifah mereka tidak bisa untuk hidup
bermewah-mewahan memburu duniawi. Tidak seperti Usman yang lebih ramah dan
longgar kepada rakyatnya. Kemudian, tugas Ali selanjutnya adalah meminta kaum
pemberontak untuk kembali ke tempat mereka masing-masing, mereka mematuhi
perintah itu. Tapi ada sebagian dari mereka yang masih melakukan pembangkangan,
dan diketahui mereka ini di pimpin oleh Abdullah bin Saba’. Pembangkangan dan
hal-hal seperti ini selalu terjadi hingga menimbulkan perpecahan.[9]
Beberapa perubahan yang terjadi pada
masa pemerintahan Ali adalah pindahnya Ibu Kota dari Madinah ke Kuffah.
Menurutnya, kota Madinah telah di nodai oleh kaum-kaum pemberontak dengan
tindakan-tindakannya yang biadab dan telah membunuh khlifah Usman. Ia ingin menyelamatkan
kota suci itu dari permainan politik yang kotor dikemudian hari. Maka sejak
Rajab tahun 36 Ia memindahkan ibu kota administrasinya ke Kuffah. Disinilah Ali
mengambil ruangan kecil di Mesjid Besar menjadi pusat kegiatannya. Kemudian
pada abad ke-8 sampai ke 11 Masehi Kuffah menjadi kota intelektual dan
kebudayaan Islam. Pusat studi bahasa Arab, filologi dan pertumbuhan sastra.[10]
C. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masa Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib
Pada masa pemerintahan Ali banyak sekali peristiwa-peristiwa yang tak
terduga terjadi, tak henti-hentinya masalah datang dari berbagai penjuru. Di
samping itu banyak pula para penghasut yang menyebarkan angin panas kepada
semua orang sehingga makin menambah perpecahan yang terjadi di kalangan umat
Islam. Dari banyaknya pembangkangan kepada Ali pada awal pemerintahannya sampai
pada permasalahan yang menimbulkan perpecahan dan perperangan sesama umat
Islam. Ali harus mengalami masa-masa sulit ini sampai akhir hayatnya, di mulai
dari masalah kaum pemberontakan kemudian mengungkap peristiwa kematian Usman,
pembangkangan yang dilakukan oleh Muawiyah, terjadinya insiden Unta, sampai
pada munculnya kelompok Khawarij dan Syi’ah.
1.
Perang Jamal (Insiden Unta)
Perang Jamal adalah perang
yang terjadi antara Ali dan Aisyah istri Rasulullah pada tahun 656. Perang ini
terjadi karena di picu oleh kabar yang sampai ke Aisyah tentang pengangkatan
Ali sebagai khalifah, sementara pembunuh Usman belum tertangkap. Tampaknya
berita ini tidak disertai penjelasan sehinga membuat Aisyah marah. Aisyah
diberitau tentang peristiwa ini pada saat Ia selesai melaksanakan haji di
Mekah, di Masjidil Haram Aisyah menyampaikan pidatonya agar menuntut bela atas
kematian Usman. Namun pada awalnya setelah selesai melaksanakan haji, Ia akan
kembali ke Madinah,tetapi atas usul Talhah dan
Zubair mereka berbelok menuju Basrah. Pada awalnya Aisyah menolak jika
maksudnya untuk berperang, namun mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengajak
untuk menuntut tentang kematian Usman akhirnya usul ini disetujui. Dan kemudian
Aisyah,beserta rombongannya bersama Talhah dan
Zubair pergi ke
Basrah.[11]
Selama perjalanan ke Basrah
makin banyak orang yang bergabung bersama Aisyah diantaranya adalah Abdullah
bin Amir, Ya’la bin Umayyah. Sebelum sampai di Basrah gubernur Basrah Usman bin
Hunaif mengutus Amran bin Husain dan Abu Al-aswad Ad-Du’ali untuk menahan
rombongan Aisyah agar tidak masuk ke Basrah. Disana terjadi adu
argumentasi,sehingga ada yang berpihak pada gubernur dan ada yang berpihak pada
Talhah dan Zubair.
Sementara itu Ali yang
sedang dilanda masalah yang begitu banyak salah satunya datang dari Muawiyyah
yang semakin memanas, harus menunda untuk mengurus itu dan memutuskan ke Basrah
untuk meredakan suasana disana. Disamping itu Aisyah disana menyampaikan pidato
yang membangkitkan semangat tentang Usman, sehingga banyak pendukung gubernur
beralih mendukung Aisyah. Tetapi sebelum Ali datang kesana hasutan telah
bermunculan dan peperangan pun tidak dapat dielakan lagi. Pertempuran yang
besar-besaran antara rombongan Aisyah dengan para prajurit gubernur pun terjadi
dan banyak menelan korban. Kedua pihak akhirnya merasakan getirnya bertempur
dengan sesama muslim dan akhirnya melakukan gencatan senjata tertulis.
Rombongan Aisyah diperbolehkan untuk beristirahat di Basrah dimanapun mereka
mau.[12]
Tetapi sayang gencatan
senjata tersebut tidak berlangsung lama, sebelum Ali datang gencatatan senjata
itu dilanggar karena adanya hasutan. Akhirnya Basrah dikuasai oleh Aisyah.
Sesampainya di Basrah Ali beserta pasukannya dari Kuffah tidak ingin adanya
perperangan,Ali selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan kekerasan.
Dan Ali berniat ingin mengajak Talhah dan
Zubair untuk berbicara agar perdamaian dapat tercapai.
Namun ternyata pada malam
hari itu Abdullah bin Saba’ dan anak buahnya telah membuat onar,mereka
menyerang rombongan Aisyah. Akhirnya perang pun terjadi, Talhah dan Zubair bersama pasukannya menyerang Ali. Namun Ali masih
bersikap sabar ia tidak mau melawan saudaranya sendiri. Tetapi, semakin lama
korban dari pihak Ali makin banyak. Di tengah-tengah pertempuran itu Ali terus
meyakinkan Talhah dan Zubair untuk
menghentikan perang ini, tak henti-hentinya Ali meyakinkan keduanya sampai
kemudian keduanya pun menyesal dan merasa bersalah dan menemui Aisyah untuk
mengadukan perasaan mereka. Tetapi malangnya mereka akhirnya juga terbunuh pada
peristiwa itu. Kemudian setelah itu barulah suara perdamaian mulai menggema.
Setelah usai perang, Ali
memberikan pidato dan peduduk Basrah pun membaiatkannya. Ali merasa sangat
sedih dan menyesalkan tentang peristiwa ini. karena takut perseteruan antara
dirinya dengan Aisyah berlanjut maka Ia menyuruh agar unta yang membawa Aisyah
kaki nya ditebas. Ali pun berbicara dengan Aisyah,dan akhirnya Aisyah pun
mengaku bersalah tentang peristiwa ini. dan menyesal tentang peristiwa ini.[13]
2.
Perang Siffin
Perang Siffin adalah
perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyyah pada 37 H/657M di siffin. Perang
ini timbul karena faktor Muawiyyah yang tidak mau membaiatkan Ali,dan bersih
keras agar pembunuh Usman dapat tertangkap baru Ia akan membaiatkan Ali. Namun
Ali tetap dengan sabar menghadapinya,dengan mengirimi sekian banyak surat
kepada Muawiyyah. Tetapi tidak satupun dari surat Ali yang diindahkan, dan
selalu memberikan balasan kosong. Muawwiyah sepertinya mengejek Ali, Ia tetap
saja tidak menghiraukan Ali. Ia membesar-besarkan masalah tentang pembunuhan
Usman agar banyak orang yang mau mendukungnya. Semua surat yang telah
dikirimkan Ali kepadanya tidak ada satupun yang dihiraukan,Ia tetap menetap di
Damsyik.[14]
Muawiyyah terus membujuk
penduduk agar mendukungnya, dan mengatakan bahwa Ialah yang berhak menggantikan
Usman karena Ia merupakan kerabat Usman dan merupakan ahli waris Usman. Namun,
dari pihak Muhajirin dan Ansar tidak menyetujui itu, namun ternyata usaha
Muawiyyah yang licik ini berhasil sebagian orng yang termakan hasutannya
mengakui bahwa Ia adalah penggati Usman, dan kemudian disebut dengan
Amirulmukminin Umayyah.[15]
Ali yang tetap berusaha
melakukan perundingan dengan Muawiyyah agar tidak mengalami kegagalan dan
terjadi perang lagi, tampaknya tidak menghasilkan apa-apa. Ali melihat kondisi
semakin memanas, dan Ia pun kemudian menyuruh agar pasukannya bersiap-siap
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.begitu jug dengan Muawiyyah , Ia
telah mempersiapkan pasukannya untuk melawan Ali. Meskipun pembangkangan yang
telah dilakukan oleh Muawiyyah itu dapat di hukum, hukuman mati. Namun, Ali
masih terus berusaha melakukan perundingan-perundingan agar tidak sampai
terjadinya perang. Namun, setelah lama menunggu dan merasa usaha yang dilakukan
sia-sia Muawiyyah masih tidak mau mengakui Ali, maka perang pun tidak dapat
dielakan lagi.[16]
Setelah melakukan
pertempuran yang sengit akhirnya, Ali beserta pasukan sudah dapat memimpin
perang itu. Namun, dari kedua belah pihak telah banyak memakan korban. Ketika
Ali dan pasukan nya sudah dapat memimpin perang dan mulai menemukan titik terang
akan kemenangannya melawan Muawiyyah, muncul politikus ulung yang tidak bisa
ditandingi pada saat itu Ia adalah Amr bin Al-as. Ia menyarankan kepada
Muawiyyah agar anggota-anggota pasukannya yang berada pada garis depan
mengikatkan mushaf Qur’an di ujung tombak mereka agar perang dihentikan dan di
adakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum Qur’an (Tahkim).
Taktik inilah yang kemudian
dipakai oleh Muawwiyah,Ali sebenarnya sudah mengetahui kalau ini hanya tipu
muslihat mereka. Tetapi sebagian pasukannya tidak menyetujui,dan menyuruh Ali
menerima tahkim itu karena mereka telah lelah berperang. Akhirnya perang
dihentikan,dan Muawwiyah menjelaskan maksud dari tahkim tersebut. Muawiyyah
mengusulkan adanya 2 orang wasit dari pihak Muawwiyah menghadirkan Amr bin
Al-as dan dari pihak Ali menghadirkan Abdullah bin Abbas. Namun, teman-teman
dan pengikutnya dari Irak tidak menyetujui karena Abdullah dipandang orang yang keras, akhirnya mereka mengirim Abdullah
bin Qais.
Namun ternyata dari hasil
tahkim ini pihak Ali ditipu sehingga Muawiyyah di kukuhkan menjadi khalifah
oleh Abdullah bin Abbas,dan Abdullah bin Qais merasa malu kepada Ali ternyata
Ia telah ditipu. Setelah terjadi hal demikian nampaknya tahkim yang dilakukan
telah gagal, dan harapan menuju perdamaian sudah hilang dan gejala perpecahan
semakin terlihat. Namun para pengikut Ali yang setia tetap mempercayai bahwa
Ali adalah Khalifah dan Muawiyyah yang salah.[17]
Nampaknya konflik antar Ali
dan Muawiyyah tidak akan berakhir sampai disini saja. Mungkin ini akan terus
berlanjut hingga akhir hayat Ali. Setelah melakukan taktik yang telah menipu
Ali, Muawiyyah kemudian melaksanakan misinya untuk menguasai daerah-daerah
seperti Mesir, Basrah, Kuffah dan Yaman. Muawiyyah mulai mengincar Mesir
sebagai sasarannya,Ia mulai melakukan penyerangan dan membunuh Gubernur mesir
kemudian mengangkat Amr bin As menjadi gubernur. Kemudian setelah itu Muawiyyah
berpindah ke Basrah tetapi usahanya disana tidak berhasil. Lalu setelah itu ia
melakukan penyusupan ke Irak, rupanya Muawiyyah memang sudah bertekad tidak
akan berhenti mengadakan perang ke daerah-daerah Irak sebelum mencapai
tujuannya untuk menaklukkan Ali.[18]
3.
Munculnya Khawarij
Munculnya kelompok Khawarij
disini mungkin tidak akan terlepas dari peristiwa perang Siffin di atas.
Khawarij muncul akibat ketidak sependapatan mereka terhadap Tahkim. Menurut
mereka Tahkim yang telah dilakukan oleh Ali dan Muawiyyah adalah suatu
perbuatan yang telah melanggar apa yang telah diajarkan didalam Al-Qu’an.
Khawarij artinya adalah golongan yang keluar atau tidak menyukai Ali. Mereka
menganggap kalau Ali itu kafir, pendosa karena telah melakukan tahkim, mereka
tidak setuju dengan adanya tahkim tersebut. Dan adapula kelompok pengikut Ali
yang disebut Syi’ah Ali.
Golongan Khawarij adalah
golongan yang sangat keras, mereka dengan mudanya membunuh siapa saja yang
tidak sehaluan dengan mereka. Mereka dengan mudahnya juga mengkafirkan Ali dan
para pengikutnya karena dianggap telah keluar dari ajaran Al-Qur’an.[19]
Disamping itu adapula
kelompok al-qurra’ (para ahli qur’an) mereka ini dulunya adalah para pengikut
Ali. Mereka juga memiliki pemikiran yang sama dengan Khawarij dalam menentang
tahkim. Mereka menjauh dan memisahkan diri dari Imam Ali karena dianggap
kafir. Golongan Khawarij sendiri pada
saat itu dipimpin oleh Syibs bin Rib’i at-Tamimi. Mereka selalu membangkang dn
berteriak-teriak dengan semboyan mereka amar ma’ruf ahi munkar setiap kali Ali
sedang berbicara ataupun berpidato.
Mereka mendesak dan memaksa
Ali untuk membatalkan tahkim tersebut. Namun Ali merasa tidak bisa karena Ia
harus menepati janji,tetapi kelompok-kelompok ini tetap tidak mau mendengarkan
penjelasannya. Mereka bersih keras menyuruh Ali untuk bertobat, tetapi Ali
dengan sabar terus menghadapinya dengan mengajak mereka berunding. Tetapi ini
semua tetap saja sia-sia, Khawarij semakin menjadi- jadi, mereka dengan mudah
nya membunuh orang-orang yang tetap mengikut Ali.
Ali yang pada awalnya ingat
berangkat ke Syam, untuk menyelesaikan masalha disana yang tidak kunjung
menemui titik terang akhirnya harus menghadapi Khawarij terlebih dahulu. Pada
saat Ali berhadapan dengan Khawarij, Alu mengajak mereka untuk bersama-sama
melawan Muawiyyah. Tetapi nampaknya itu semua tidak ada gunanya, Khawarij pun
menumbuhkan api peperangan dan menyerang Ali. Namun, dengan pasukan yang kuat
akhirnya Ali dapat menumpas kelompok Khawarij, beberapa orang yang selamat
melarikan diri dan ada pula nantinya diantara mereka yang menjadi pengikut
Muawiyyah. Namun biarpun demikian, Ali tetap merasa sedih mengapa peperangan
antar muslim tetap harus terjadi.[20]
Dikemudian hari sebagian kecil dari klompok Khawarij
yang selamat ini membuat kekacauan lagi. Mereka bergabung denga Khirit bin
Rasyid As-sami dulu Ia adalah sahabat Ali pada perang Jamal dan Siffin namun
ketika ada nya tahkim Ia bergabung bersama Khawarij dan menentang Ali. Ia
berkata kasar dan melakukan pembangkangan terhadap Ali, dan melakukan perbuatan
anarkis dengan orang-orang yang mengikuti Ali, tak segan-segan membunuh dan
menganiaya. Namun setelah mengalami pertempuran dengan pasukan yang telah
dikirim Ali akhir nya mereka dapat ditumpas.[21]
D. Masa Akhir Jabatan Ali
bin Abi Thalib
Ali dilanda dengan cobaan yang sangat
berat dimana para pengikutnya telah banyak yang membangkang, terjadinya
pelanggaran hukum dan pengacauan berita perampasan, teror dan pembunuhan
terjadi dimana-mana. Rakyat sudah tidak pernah tenang, semua berada dalam
kegelisahan. Toleransi yang telah Ia berikan kepada Muawiyyah dan Khawarij
telah melampaui batas. Tetapi saat itu sekelompok Khawarij memanfaaatkan
momentum musim haji tahun 40 H. Mereka melihat jemaah haji sudah bercerai
berai. Golongan Muawiyyah melaksanakan sholat dengan imam sendiri begitu pula
dengan golongan Ali dengan imam sendiri. Sudah sangat parah kondisinya saat
itu. Khawarij yang tidak berhasil memerangi Muawiyyah dan Ali, mereka berniat
melakukan pembunuhan terhadap biang keladi yang dianggap menimbulkan
pertentangan dikalangan kaum muslimin, mereka adalah Ali, Muawiyyah, dan Amr
bin As.[22]
Pada tanggal 40 H Khawarij yang telah
sepakat akan melakukan pembunuhan yang terdiri atas 3 orang telah menentukan
tempat, tanggal, dan waktu pelaksaannya. Mereka itu adalah Abdurrahman bin
Muljam al- Himyari al-Muradi yang akan berangkat ke Kuffah untuk membunuh Imam
Ali. Al- Burak atau Al-Hajjaj bin Abdullah at-Tamimi yang akan berangkat ke
Syam untuk membunhu Muawiyyah. Amr bin Bakr at-Tamimi yang akan pergi ke Mesir
untuk membunuh Amr bin As. Pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang sama yaitu
saat mereka melakukan sholat subuh di Mesjid. Tanggal 17 Ramadhan tahun ini
juga. Pada waktu yang telah ditentukan, di Mesjid Damsyik Hajjaj sudah menunggu
Muawiyyah yang akan melaksanakan sholat subuh. Tetapi Ia tidak berhasil,karena
ketika mengayunkan pedangnya Ia disergap oleh pengawal Muawiyyah, dan pedang
itu hanya mengenai bokongnya. Kemudian orang tersebut menemui ajalnya atas
perintah Muawiyyah. Lain halnya dengan Ali yang tidak mau dikawal dan tidak
pernah memakai baju besi.[23]
Amr bin Bakr at-Tamimi juga tidak
berhasil karena pada waktu yang telah ditentukan Amr bin As sedang sakit sehingga Ia tidak ke
mesjid dan digantikan oleh Kharijah bin Habib As-Sahmi. Maka orang bini tewas
oleh pedang Amr bin Bakr at-Tamimi dan Ia menemui ajalnya atas perintah Amr bin
As.[24]
Abdurrahman bin Muljam al- Himyari
al-Murad yang sudah menunggu di Kuffah menunggu waktu yang telah ditentukan.
Ketika Imam Ali datang dan menyerukan salat, mereka menyambutnya didepan Mesjid
dengan pukulan pedang. Pedang Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi
mengenai tepat didahinya tembus sampai ke otak. Ali pun roboh tersungkur,
sambil berkata “tangkap orang! Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi
tertangkap. Ali dibawa kerumahnya dan tinggal selama dua hari satu malam. Ia
berpesan apabila ia mati maka bunuh lah Dia tapi jangan dianiaya. Sebelum ajal
Imam Ali tidak menyebutkan nama pengganti dirinya, Ia hanya memberikan nasehat
kepada anak-anaknya.[25]
Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun
meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. 661 M. (24 Januari), gugur pada syahid
pada usia 63 tahun. Jenaah Al dimandikan oleh Hasan dan Husain. Dengan
meningganya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pulalah masa al-Khulafua’ ar-Rasyidun ,yang berlangsung selama 30 tahun. Mengenai
tempat pemakaman Ali bin Abi Thalib sebenarnya masih sangat rahaia, sebab
khawatir akan diganggu oleh pihak Khawarij. Namun dari berbagai pendapat yang
berbeda tentang letak pemakaman Ali.
Menurut kalangan Syi’ah mereka meyakini kalau makam Ali bin Abi Thalib ada di
Najaf, Irak selatan tempat ini dikenal dengan kompleks Imam Ali, dan disina
pula terdapat Masjid Imam Ali yang ter besar dikota ini.[26]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami peroleh dari hasil makalah ini adalah
bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib, merupakan orang yang istikomah, tegas,
selalu berterus terang dan baginya agama itu diatas segalanya. Ali adalah sosok
orang yang tidak mementingkan urusan duniawi. Tetapi dalam kenyataannya Ali
harus mengalami masa-masa yang sulit dalam pemerintahannya menjadi seorang
khalifah menggantikan Usman. Banyak masalah-masalah yang kemudian di embankan
kepadanya dan menuntut kepadanya untuk diselesaikan. Salah satunya adalah
tentang siapa yang telah membunuh Usman.
Yang pada akhirnya persoalan ini
jugalah yang menyebabkan timbulnya perpecahan diantara kaum Muslim. Mulai dari
terjadinya perang Jamal, Siffin, munculnya Khawarij dan para pemberontakan lainnya.
Ali harus menanggung beban ini sendirian, dikala para pengikutnya banyak yang
meninggalkan dan memusuhinya. Pada Senin 21 Zulhijah 35/20 Juni 656
Ia dilantik menjadi khalifah menggantikan Usman. Pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun 9
bulan banyak sekali mengalami kesulitan-kesulitan. Tetapi disamping itu Ali
merupakan orang yang sangat tegas dalam menumpas pejabat-pejabat yang korup,
dan yang tidak membayar zakat. Ali meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. 661 M. (24 Januari),
gugur pada syahid pada usia 63 tahun.ia dibunuh oleh salah satu kelompok
Khawarij dan d kuburkan secara sembunyi di Najaf, Irak.
DAFTAR PUSTAKA
Audah , Ali. 2008. Ali bin Abi Thalib
Sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor: PT. Litera Antarnusa
Dedi, Supriyadi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Harun, Nasution. 2002. Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI- Press.
Ibrahim Hasan, Dr. Hasan. 2006. Sejarah dan Kebudayaan
Islam I. Jakarta: Kalam Mulia.
Joeseof, Sou’yb. 1986. Sejarah Khulafaur
Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Khairul, Umam. 2003. Tokoh-tokoh
Islam Kharismatik. Jakarta: Nur Insani.
Muthahhari, Murthada. 2005. Ali bin
Abi Thalib Kekuatan dan Kesempurnaan. Bandung: Marja
[1] Ali Audah, Ali bin
Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain, (Bogor: PT. Litera Antarnusa,
2008), hal. 188.
[3] Ibid., hal. 193.
[4] Ibid., hal.
197.
[5] Ibid., hal.
199.
[6] Ibid., hal.
202.
[7] Ibid., hal.
207.
[8] Ibid., hal.,
208.
[9] Ibid., hal.,
215.
[10] Ibid., hal.,
247.
[11] Ibid., hal.
222.
[12] Ibid., hal.
225.
[13]
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hal,. 239.
[15]Nasution Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI- Press, 2002), hal., 230.
[16] Dr. Hasan Ibrahim Hasan,
Op. Cit, hal., 260.
[17] Ibid., hal.,
265.
[18]Murthada Muthahhari, Ali bin Abi Thalib
Kekuatan dan Kesempurnaan,(Bandung:
Marja, 2005), hal., 332.
[20] Ibid., hal.,
300.
[21] Ibid., hal.,
313.
[23] Ibid., hal 220.
[24] Ibid., hal 225.
[25] Ibid., hal 227.
0 komentar:
Posting Komentar