Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 04 April 2017

PENDIDIKAN DAN PENANGANANNYA TERHADAP MASYARAKAT MODERN



PENDIDIKAN DAN PENANGANANNYA TERHADAP
MASYARAKAT MODERN



Dalam perspektif psikologi, manusia memang mamiliki unsur ego yang menggambarkan pengalaman seseorang mengenai diri sendiri sehingga wajar jika kepentingan individu seringkali mendominasi pertimbnagan dalam berperilaku dan bertindak. Jika muncul ketidakharmonisan hubungan antar pemeluk agama atau intern agama, maka hal itu lebih banyak disebabkan oleh ekspresi dari pengalaman subjektif seseorang terhadap Tuhan. [1]
Pemahaman terhadap pengalaman beragama dan ekspresinya dalam bentuk perilaku individu dan kehidupan bersama menjadi signifikan bagi siapa saja yang menginginkan suasana pengalaman agama masing-masing individu.Hubungan antara perbuatan dengan aktivitas mental (pengalaman beragama) dapat dilihat pada berbagai pemeluk agama yang perbuatannya merupakan cerminan dari agama yang dipeluknya.
Pemahaman seseorang juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misal dari segi pendidikan. Dengan pendidikan, seseorang dapat memperoleh berbagai pengalaman yang mampu mempengaruhi setiap perilaku seseorang. Maka dari itu, arah pendidikan afektif lebih difokuskan pada pengembangan kapasitas intelektual berbasis efektif, atau dalam istilah lain disebut sebagai pengembangan intelektual spiritual.[2]
Pendidikan di mata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project, berarti kita berbicara tentang sistem politik kebudayaan yang menyeluruh dan melampaui batas-batas teoritis dari doktrin politik tertentu.[3]
Sebagai dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan wadah dan ‘surat perjanjian khusus’ dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire, pendidikan memuat konsep sekolah di dalamnya, tetepi lebih luas dari sekedar konsep sekolah. Sekolah hanyalah salah satu bagian yang memang cukup penting di mana pendidikan mengambil tempat, yakni di mana laki-laki dan perempuan menciptakan sekaligus menjadi hasil hubungan-hubungan sosial dan pedagogis.[4]
Selain itu, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna kekuasaan dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi tidak dalam pola kuasa-menguasai sehingga dinamika antara individu dan kelompok secra bersama-sama melepasakan diri dari kehidupan yang mempunyai akar sejarah yang sarat dengan dominasi mebatasi ruang gerak individu dan kelompok secara struktural.[5]
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya. Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukkan untuk pencapaian tujuan tersebut. Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktiknya.
Gagasan tentang pendidikan afektif tersebut secara akademik dapat dibenarkan, karena koheren dengan arah pendidikan Islam yang mendukung terhadap aspek spiritual dan intelektual subjek didik. Pengembangan dua aspek ini diyakini dapat menumbuhkan kesadaran jiwani dan kesempurnaan psikologis hingga tercapai kepribadian fadilah.[6]
Selain diterapkan pendidikan berbasis afektif, juga diterapkan pendidikan multikultural mulai diperhatikan. Hal ini disebabkan pendidikan ini dapat dijadikan sarana untuk memahami keragaman yang ada pada masyarakat. Selain itu, pendidikan ini juga dilakukan dalam rangka meminimalisir munculnya konflik sosial akibat kemajemukan dan perbedaan budaya. Kebersamaan dalam perbedaan ini akan semakin penting, ketika dihadapkan pada realitas Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dengan adanya 200 etnis dan adat istiadat, serta agama yang beragam.[7]
Kemajemukan  tersebut bila tidak ditangani secara baik dan arif, sangat berpotensi menimbulkan konflik dan tindak kekerasan antar kelompok masyarakat, seperti munculnya kasus kerusuhan antar umat beragama di berbagai tempat. Terjadinya kasus di atas, menunjukkan hilangnya nilai-nial kemanusiaan, minimnya peran pendidikan dan agama dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan multikultural harus menggabungkan antara multikultural dan aspek afektif agar tercipta pendidikan yang baik.
Pendidikan multikultural yang berbasis afektif ini memilki karakteristik pada pengembangan paradigma keberagaman yang inklusif, pengembangan kesadaran untuk dapat belajar hidup dalam perbedaan, penanaman sikap toleran, cinta keharmonisan, kebaikan dan kemaslahatan, saling menghargai, menghormati, dan saling menyayangi.[8] Aktualisai pemikiran tersebut, dapat dilihat pada tataran konsep pendidikan multikultural berbasis efektif yang dibangaun oleh Imam al Ghozali.
Secara konseptual al Ghazali sebagai salah satu tokoh Psikologi Sufistik menawarkan ide tentang pendidikan fiqh yang bernuansa afektif multikultural, dengan pembekalan ilmu fiqh yang dapat memberikan konstribusi bagi kesempurnaan psikologis dalam 3 hal, yaitu kesempurnaan dalam berfikir, kesempurnaan dalam berkeinginan dan kesempurnaan dalam berperasaan.[9]
Dengan model keilmuan tersebut, peserta didik diharapkan memiliki keseimbangan kemampuan koginitif, afektif, psikomotorik yang  berdampak positif bagi kedewasaan mental sehingga mampu memahmi realitas hidup dalam perbedaan, saling menghargai, dan menghormati serta saling mencintai kedamaian dan keharmonisan. Konsep ini dapat diaktulaisasikan, manakala proses pembelajaran  menekankan pada pemahaman kognitif dalam tataran formalitas dan pengembangan afektif yang dapat merespon terhadap subtansi ajar untuk kesempurnaan moral.[10]
Selain pemikiran di atas, Al-Ghazali menawarkan konsep pendidikan kalam (teologi) yang bernuansa afektif multikultural. Konsep tersebut telah dituangkan dalam pemikirannya yang  berbunyi: “apabila anda mempelajari ilmu (kalam), maka seharusnya ilmu anda itu memiliki daya dorong terhadap hati anda untuk selalu baik dan bersih, kemudian melairkan implikasi posiyit untuk senantiasa beribadah kepada Allah dan mencintaiNya, serta mencintai terhadap segala tingkah laku yang baik dan terpuji”.[11]
Oleh karena itu, konsep pendidikan yang bernuansa multikultural lebih diarahkan pada pengembangan afektif yang mampu merasakan berbagai realitas yang bersifat multikultural, seperti pengembangan: (1) sikap toleran, empati dan simpati terhadap orang lain, (2) sikap ,encintai nilai-nilai kebersamaan dan keharmonisan, (3) nilai-nilai yang berpengaruh terhadap kedewasaan emosional, (4) sikap atas pengakuan terhadap kehadiran etnis, kelompok, budaya, agama, atau aliran paham lain, (5) sikap saling percaya satu sama lain, (6) sikap setia untuk menerima perbedaan dan persamaan antar berbagai ragam pemikiran, pandangan dan pendapat, serta (7) sikap apresiasi terhadap tatanan sosial yang plural.
Dalam sebuah pendidikan, guru atau pendidik memiliki peran yang sangat penting. Tugas para pendidik begitu banyak, salah satunya mencarikan cara yang tepat bagi peserta didik untuk belajar, dan bantuan yang paling baik sehingga peserta didik dapat memrankan diri sebagai subjek belajar. Pendidik harus konsisten menemukan dan terus mencari cara yang memudahkan peserta didik untuk melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai sebuah masalah.[12]
Terdapat beberapa kaulifikasi yang harus dimiliki oleh pendidik diklasifikasikan ke dalam 4 jenis, yaitu: (1) fisik, (2) pribadi, (3) profesional, dan (4) sosial. Kaulifikasi pertama berkaitan dengan aspek-aspek kesehatan fisik, ciri-ciri khusu fisik, dan daya dukung kemampuan verbal. Kelaifikasi kedua berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian guru, seperti keimanan, kepribadian, dan sebagainya. Kualifikasi ketiga berkenaan dengan tugas-tugas teknis pengajaran dan penguasaan materi bahan ajar dengan segala perangkat pendukungnya yang terkait langsung, serta kemampuan menciptakan kondisi peserta didik menjadi masyarakat belajar yang kian dirasakan mendesak pada era globalisai ekonomi dan informasi. Kualifikasi keempat berkaitan dengan fungsi tenaga pendidikan sebagai bagian integral dari anggota masyarakat Indonesia yang Pancasilais.[13]
Dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik yang dimediatori oleh objek pengetahuan yang harus disingkap, faktor yang paling penting adalah perkembangan sikap kritis terhadap objek. Maka dari itu, ketika pendidik dan peserta didik secara bersama-sama mendekati objek untuk dianalisa guna menemukan maknanya, mereka memrlukan informasi yang benar untuk mendapatkan hasil analisa yang tepat.[14]
Hasil yang  diharapkan dari pendidikan tersebut adalah kemampuan kognitif yang disertai rasa mahabbah kepada Allah dan Rasulnya, karena potensi mahabbah ini dalam pandangan psikologi sufistik dapat membentuk kepribadian yang sehat secara psikologis. Dengan kejiwaan yang sehat akan muncul dorongan perilaku psikologis yang konstruktif, baik dalam bentuk ucapan, perubatan, dapat dibenarkan karena adanya teori psikologis yang nampak dan dipengaruhi oleh batin yang mendasarinya.[15]
DAFTAR PUSTAKA

Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross – Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nuansa Aksara.
Amin Syukur, dkk. 2011. Islam Agama Santun. Semarang: Rasail.
Danim, Sudarwan. 2006.  Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Sebagai Proses. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2007.  Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muslim, Saiful. 2001. Upaya Menemukan Kembali Konsep Pengembangan Pendidikan Islam Ideal di Indonesia dalam Jurnal Lektur seri XI.Cirebon: Stain Cirebon.
Hadziq, Abdullah. 2005. Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik. Semarang: Rasail.




[1] Amin Syukur, dkk., Islam Agama Santun, (Semarang: Rasail, 2011), hal., 25.
[2] Saiful Muslim, Upaya Menemukan Kembali Konsep Pengembangan Pendidikan Islam Ideal di Indonesia dalam Jurnal Lektur seri XI, (Cirebon: Stain Cirebon, 2001), hal., 32.
[3] Paulo Freire, Politik Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal., 5.
[4] Ibid., hal., 6.
[5] Paulo Freire, Loc. Cit.
[6] Amin Syukur, dkk., Op. Cit., hal., 89.
[7] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross – Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal., 3.
[8] Amin Syukur, dkk., Op. Cit., hal., 92.
[9] Amin Syukur, dkk., Loc. Cit.
[10]Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Rasail, 2005), hal., 162.
[11] Amin Syukur, dkk., Op. Cit., hal., 93.
[12] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal., 11.
[13] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal., 82.
[14] Paulo Freire, Loc. Cit.
[15] Amin Syukur, dkk., Op. Cit., hal., 94.

0 komentar:

Posting Komentar