PENDIDIKAN DAN PENANGANANNYA TERHADAP
MASYARAKAT MODERN
Dalam perspektif psikologi, manusia memang mamiliki unsur ego yang
menggambarkan pengalaman seseorang mengenai diri sendiri sehingga wajar jika
kepentingan individu seringkali mendominasi pertimbnagan dalam berperilaku dan
bertindak. Jika muncul ketidakharmonisan hubungan antar pemeluk agama atau
intern agama, maka hal itu lebih banyak disebabkan oleh ekspresi dari
pengalaman subjektif seseorang terhadap Tuhan.
[1]
Pemahaman terhadap pengalaman beragama dan ekspresinya dalam bentuk
perilaku individu dan kehidupan bersama menjadi signifikan bagi siapa saja yang
menginginkan suasana pengalaman agama masing-masing individu.Hubungan antara
perbuatan dengan aktivitas mental (pengalaman beragama) dapat dilihat pada
berbagai pemeluk agama yang perbuatannya merupakan cerminan dari agama yang
dipeluknya.
Pemahaman seseorang juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misal
dari segi pendidikan. Dengan pendidikan, seseorang dapat memperoleh berbagai
pengalaman yang mampu mempengaruhi setiap perilaku seseorang. Maka dari itu,
arah pendidikan afektif lebih difokuskan pada pengembangan kapasitas
intelektual berbasis efektif, atau dalam istilah lain disebut sebagai
pengembangan intelektual spiritual.[2]
Pendidikan di mata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen
untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan
pendidikan sebagai pilot project, berarti kita berbicara tentang sistem politik
kebudayaan yang menyeluruh dan melampaui batas-batas teoritis dari doktrin
politik tertentu.[3]
Sebagai dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan wadah
dan ‘surat perjanjian khusus’ dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk menentukan
kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire, pendidikan memuat
konsep sekolah di dalamnya, tetepi lebih luas dari sekedar konsep sekolah.
Sekolah hanyalah salah satu bagian yang memang cukup penting di mana pendidikan
mengambil tempat, yakni di mana laki-laki dan perempuan menciptakan sekaligus
menjadi hasil hubungan-hubungan sosial dan pedagogis.[4]
Selain itu, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna
kekuasaan dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi tidak dalam
pola kuasa-menguasai sehingga dinamika antara individu dan kelompok secra
bersama-sama melepasakan diri dari kehidupan yang mempunyai akar sejarah yang
sarat dengan dominasi mebatasi ruang gerak individu dan kelompok secara
struktural.[5]
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki
posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya. Dapat dikatakan
bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata
terarah kepada atau ditujukkan untuk pencapaian tujuan tersebut. Tujuan
pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak.
Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga
sulit untuk dilaksanakan di dalam praktiknya.
Gagasan tentang pendidikan afektif tersebut secara akademik dapat
dibenarkan, karena koheren dengan arah pendidikan Islam yang mendukung terhadap
aspek spiritual dan intelektual subjek didik. Pengembangan dua aspek ini
diyakini dapat menumbuhkan kesadaran jiwani dan kesempurnaan psikologis hingga
tercapai kepribadian fadilah.[6]
Selain diterapkan pendidikan berbasis afektif, juga diterapkan
pendidikan multikultural mulai diperhatikan. Hal ini disebabkan pendidikan ini
dapat dijadikan sarana untuk memahami keragaman yang ada pada masyarakat. Selain
itu, pendidikan ini juga dilakukan dalam rangka meminimalisir munculnya konflik
sosial akibat kemajemukan dan perbedaan budaya. Kebersamaan dalam perbedaan ini
akan semakin penting, ketika dihadapkan pada realitas Indonesia yang memiliki
keanekaragaman budaya dengan adanya 200 etnis dan adat istiadat, serta agama
yang beragam.[7]
Kemajemukan tersebut bila
tidak ditangani secara baik dan arif, sangat berpotensi menimbulkan konflik dan
tindak kekerasan antar kelompok masyarakat, seperti munculnya kasus kerusuhan
antar umat beragama di berbagai tempat. Terjadinya kasus di atas, menunjukkan
hilangnya nilai-nial kemanusiaan, minimnya peran pendidikan dan agama dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan multikultural harus menggabungkan
antara multikultural dan aspek afektif agar tercipta pendidikan yang baik.
Pendidikan multikultural yang berbasis afektif ini memilki
karakteristik pada pengembangan paradigma keberagaman yang inklusif,
pengembangan kesadaran untuk dapat belajar hidup dalam perbedaan, penanaman
sikap toleran, cinta keharmonisan, kebaikan dan kemaslahatan, saling
menghargai, menghormati, dan saling menyayangi.[8]
Aktualisai pemikiran tersebut, dapat dilihat pada tataran konsep pendidikan
multikultural berbasis efektif yang dibangaun oleh Imam al Ghozali.
Secara konseptual al Ghazali sebagai salah satu tokoh Psikologi
Sufistik menawarkan ide tentang pendidikan fiqh yang bernuansa afektif
multikultural, dengan pembekalan ilmu fiqh yang dapat memberikan konstribusi
bagi kesempurnaan psikologis dalam 3 hal, yaitu kesempurnaan dalam berfikir,
kesempurnaan dalam berkeinginan dan kesempurnaan dalam berperasaan.[9]
Dengan model keilmuan tersebut, peserta didik diharapkan memiliki
keseimbangan kemampuan koginitif, afektif, psikomotorik yang berdampak positif bagi kedewasaan mental
sehingga mampu memahmi realitas hidup dalam perbedaan, saling menghargai, dan
menghormati serta saling mencintai kedamaian dan keharmonisan. Konsep ini dapat
diaktulaisasikan, manakala proses pembelajaran menekankan pada pemahaman kognitif dalam
tataran formalitas dan pengembangan afektif yang dapat merespon terhadap
subtansi ajar untuk kesempurnaan moral.[10]
Selain pemikiran di atas, Al-Ghazali menawarkan konsep pendidikan
kalam (teologi) yang bernuansa afektif multikultural. Konsep tersebut telah
dituangkan dalam pemikirannya yang
berbunyi: “apabila anda mempelajari ilmu (kalam), maka seharusnya ilmu
anda itu memiliki daya dorong terhadap hati anda untuk selalu baik dan bersih,
kemudian melairkan implikasi posiyit untuk senantiasa beribadah kepada Allah
dan mencintaiNya, serta mencintai terhadap segala tingkah laku yang baik dan
terpuji”.[11]
Oleh karena itu, konsep pendidikan yang bernuansa multikultural
lebih diarahkan pada pengembangan afektif yang mampu merasakan berbagai
realitas yang bersifat multikultural, seperti pengembangan: (1) sikap toleran,
empati dan simpati terhadap orang lain, (2) sikap ,encintai nilai-nilai
kebersamaan dan keharmonisan, (3) nilai-nilai yang berpengaruh terhadap
kedewasaan emosional, (4) sikap atas pengakuan terhadap kehadiran etnis,
kelompok, budaya, agama, atau aliran paham lain, (5) sikap saling percaya satu
sama lain, (6) sikap setia untuk menerima perbedaan dan persamaan antar
berbagai ragam pemikiran, pandangan dan pendapat, serta (7) sikap apresiasi
terhadap tatanan sosial yang plural.
Dalam sebuah pendidikan, guru atau pendidik memiliki peran yang
sangat penting. Tugas para pendidik begitu banyak, salah satunya mencarikan
cara yang tepat bagi peserta didik untuk belajar, dan bantuan yang paling baik
sehingga peserta didik dapat memrankan diri sebagai subjek belajar. Pendidik
harus konsisten menemukan dan terus mencari cara yang memudahkan peserta didik
untuk melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai
sebuah masalah.[12]
Terdapat beberapa kaulifikasi yang harus dimiliki oleh pendidik
diklasifikasikan ke dalam 4 jenis, yaitu: (1) fisik, (2) pribadi, (3) profesional,
dan (4) sosial. Kaulifikasi pertama berkaitan dengan aspek-aspek kesehatan
fisik, ciri-ciri khusu fisik, dan daya dukung kemampuan verbal. Kelaifikasi
kedua berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian guru, seperti keimanan,
kepribadian, dan sebagainya. Kualifikasi ketiga berkenaan dengan tugas-tugas teknis
pengajaran dan penguasaan materi bahan ajar dengan segala perangkat
pendukungnya yang terkait langsung, serta kemampuan menciptakan kondisi peserta
didik menjadi masyarakat belajar yang kian dirasakan mendesak pada era
globalisai ekonomi dan informasi. Kualifikasi keempat berkaitan dengan fungsi
tenaga pendidikan sebagai bagian integral dari anggota masyarakat Indonesia
yang Pancasilais.[13]
Dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik yang dimediatori
oleh objek pengetahuan yang harus disingkap, faktor yang paling penting adalah
perkembangan sikap kritis terhadap objek. Maka dari itu, ketika pendidik dan
peserta didik secara bersama-sama mendekati objek untuk dianalisa guna
menemukan maknanya, mereka memrlukan informasi yang benar untuk mendapatkan
hasil analisa yang tepat.[14]
Hasil yang diharapkan dari
pendidikan tersebut adalah kemampuan kognitif yang disertai rasa mahabbah
kepada Allah dan Rasulnya, karena potensi mahabbah ini dalam pandangan
psikologi sufistik dapat membentuk kepribadian yang sehat secara psikologis.
Dengan kejiwaan yang sehat akan muncul dorongan perilaku psikologis yang
konstruktif, baik dalam bentuk ucapan, perubatan, dapat dibenarkan karena adanya
teori psikologis yang nampak dan dipengaruhi oleh batin yang mendasarinya.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin, M.
2005. Pendidikan Multikultural: Cross – Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nuansa Aksara.
Amin Syukur, dkk. 2011. Islam Agama Santun. Semarang: Rasail.
Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Sebagai Proses. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2007. Politik
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muslim, Saiful.
2001. Upaya Menemukan Kembali Konsep Pengembangan Pendidikan Islam Ideal di
Indonesia dalam Jurnal Lektur seri XI.Cirebon: Stain Cirebon.
Hadziq, Abdullah.
2005. Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik. Semarang: Rasail.
[1]
Amin Syukur,
dkk., Islam Agama Santun, (Semarang: Rasail, 2011), hal., 25.
[2]
Saiful Muslim, Upaya
Menemukan Kembali Konsep Pengembangan Pendidikan Islam Ideal di Indonesia dalam
Jurnal Lektur seri XI, (Cirebon: Stain Cirebon, 2001), hal., 32.
[3] Paulo Freire, Politik
Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal., 5.
[4]
Ibid., hal., 6.
[5]
Paulo Freire,
Loc. Cit.
[6]
Amin Syukur,
dkk., Op. Cit., hal., 89.
[7]
M. Ainul Yaqin,
Pendidikan Multikultural: Cross – Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal., 3.
[8]
Amin Syukur,
dkk., Op. Cit., hal., 92.
[9]
Amin Syukur,
dkk., Loc. Cit.
[10]Abdullah
Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang:
Rasail, 2005), hal., 162.
[11]
Amin Syukur,
dkk., Op. Cit., hal., 93.
[12]
Paulo Freire, Pendidikan
Sebagai Proses, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal., 11.
[13]
Sudarwan Danim,
Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hal., 82.
[14]
Paulo Freire,
Loc. Cit.
[15]
Amin Syukur,
dkk., Op. Cit., hal., 94.
0 komentar:
Posting Komentar